Sejak diawal masa pandemi, orang makin berkreatif atau dipaksa berkreasi dengan situasi new normal. Teknologi menjadi satu-satunya sarana yang dijadikan media dalam melakukan aktivitas kerja. Karena bagaimanapun, hidup harus berlanjut dan tugas-tugas kerja, wajib dilakoni. Tak ayal, orang makin berinovasi dalam memanfaatkan teknologi, salah satunya teknologi media. Dan dalam perkembangannya, lahirlah karya-karya kreatif dengan memakai sarana teknologi ini sebagai sarananya. Muncul pula platform media yang makin menyemarakan pekerjaan kreatif ini.
Hingga akhirnya, seperti yang kita saksikan sampai saat ini. Sejak platform multimedia mendapat panggung popularitas di era 2010-an, didukung oleh akses internet dan ponsel yang masif, titel-titel pekerjaan baru di dunia digital bermunculan seperti youtuber, vlogger, influencer, selebgram, endorser, hingga kreator konten (content creator).
Istilah-istilah itu saling tumpang tindih sekaligus melengkapi dan kadang kala memunculkan perdebatan yang cenderung solipsistik dengan berusaha untuk membedakan diri satu sama lain.
“Saya pikir semua influencer adalah kreator; mungkin tidak semua kreator adalah influencer,” kata General Partner Lightspeed Venture Nicole Quinn kepada The New Yorker.
Meski secara umum serupa, sebagian dari mereka ada yang lebih suka menyebut diri sebagai influencer alih-alih youtuber meski bergerilya di platform YouTube. Ada yang lebih suka disebut sebagai kreator konten alih-alih hanya endorser.
Bahkan ada pula pandangan dari peneliti digital anthropologist Crystal Abidin dan peneliti di Cornell University Brooke Erin Duffy yang melihat terminologi di atas berkaitan dengan gender; perempuan lebih suka disebut “influencer” sementara laki-laki cenderung lebih menyukai istilah “kreator”.
Terlepas dari cairnya istilah yang digunakan, terdapat satu kesamaan di antara mereka; mereka memproduksi berbagai bentuk konten di ruang media sosial dengan memanfaatkan perangkat lunak untuk mendapatkan monetisasi, mereka menciptakan kreator ekonomi (creator economy).
“Siapa pun yang ketenarannya berasal dari dunia daring, jika mereka dapat memperoleh penghasilan melalui pengaruh itu, saya menganggap itu sebagai ekonomi kreator,” kata pendiri perusahaan investasi Atelier Ventures, Li Jin, yang memiliki perhatian khusus pada kreator ekonomi.
Senada dengan hal itu, Co-CEO Famous Allstars (FAS) Alex Wijaya menggambarkan kreator ekonomi sebagai perputaran hubungan antara pemilik bisnis atau brand dan kreator. Semakin meningkat permintaan iklan dari brand, maka akan memacu motivasi kreator untuk membuat konten.
“Semakin mereka (kreator) berkreasi, bikin konten, berinovasi, akan semakin meningkat juga daya beli dari brand, semakin naik lagi monetisasi sehingga ini berputar dan berputar, menciptakan sebuah ekonomi yang tadinya kalau kita bicara 10 tahun lalu tidak eksis,” kata Alex dalam sebuah wawancara .
Influencer Marketing Factory (IMF), sebuah agensi influencer global, menyebut total ukuran pasar kreator setidaknya mencapai 104,2 miliar dolar AS pada 2021 dan meningkat dari hari ke hari.
Menurut survei IMF, sebanyak 31 persen kreator mengatakan kesepakatan dengan brand menjadi sumber pendapatan utama bagi mereka. Sebagai catatan, IMF mengumpulkan 500 responden kreator berusia 18 hingga lebih dari 40 tahun yang berbasis di Amerika Serikat.
Selain hubungan antara kreator dengan brand, Alex memandang bahwa pelaku yang paling dekat dalam ekosistem kreator ekonomi termasuk perusahaan agensi influencer yang berfungsi sebagai penghubung antara kreator/influencer dan brand. Ketiganya, kata Alex, menjadi pilar utama penggerak kreator ekonomi saat ini.
Di Indonesia, Famous Allstars (FAS) menjadi salah satu agensi influencer yang ada. Perusahaan ini pada 2019 meluncurkan platform allstars.id yang dapat menghubungkan kreator dengan brand serta sebaliknya.
Alex mengatakan platform tersebut dirancang untuk menjembatani tidak hanya brand besar tetapi juga brand kecil atau UMKM yang membutuhkan amplifikasi kreator untuk mengiklankan produknya.
Tak hanya dari sisi brand, menurut Alex allstars.id juga menaungi lebih dari 120 ribu influencer, termasuk nano influencer dengan jumlah pengikut yang relatif rendah antara 1.000 hingga 10.000.
“Kami juga melindungi dua stakeholder ini, mulai dari bagaimana bisa mencari influencer dengan lebih mudah dan akurat untuk brand, bagaimana influencer bisa dilindungi seperti sistem pembayaran yang lancar, serta bagaimana kami bisa membuka akses permintaan pekerjaan dari brand dengan mudah ke influencer,” katanya.
Menurutnya, setiap lini influencer, mulai dari ukuran nano hingga mega, memiliki peran masing-masing yang saling melengkapi kebutuhan kampanye atau iklan.
Namun, ia mencatat bahwa nano influencer menjadi tren yang berkembang saat ini. Salah satu kelebihan nano influencer, kata Alex, memiliki kredibilitas yang lebih kuat karena secara personal dekat dengan para pengikutnya.
Bagian inilah menjadi salah satu daya tarik tersendiri di dalam dunia ekonomi kreator; brand kecil bisa menggandeng kreator walau hanya nano dan setiap individu “biasa-biasa saja” memiliki kesempatan menjadi kreator yang pada dasarnya tengah membangun media mereka sendiri.
Masa depan ekonomi kreator
Data Statista menunjukkan terdapat lebih dari 6 miliar orang yang menggunakan perangkat smartphone secara global dan hampir 4 miliar di antaranya aktif di platform media sosial.
Melalui tulisannya di Forbes, Co-founder & CEO The Influencer Marketing Factory Alessandro Bogliari berpendapat bahwa kemudahan akses atas media sosial menjadi alasan utama mengapa ekonomi kreator “booming“. Selain media sosial, penetrasi internet yang meluas dan penggunaan smartphone yang masif juga menjadi “bahan bakar” kreator untuk menentang status quo periklanan media konvensional. Tanpa semua teknologi itu, kreator ekonomi tak berarti apa-apa.
“Dulu yang menayangkan iklan adalah media perusahaan TV, misalnya. Kita sebagai individu tidak bisa menjadi media karena tidak punya wadah. Perkembangan digital yang membuat kita semua sanggup menjadi media,” kata Alex.
Alex sendiri percaya bahwa ekonomi kreator tidak akan pernah mati dan akan membesar walau seandainya berganti bentuk sesuai teknologi yang diadaptasi.
“Kita kan ada di dunia Web 2.0 sekarang. Tapi kalau lihat perkembangan dunia sekarang, kita sudah ada di ujung pintu Web 3.0; metaverse, dunia virtual, NFT, itu bahasa-bahasa yang sering kita dengar. Kita sudah ada di ujung pintu itu. Tapi teknologinya belum masif,” ujarnya.
Secara sederhana, metaverse memungkinkan pengguna menjalin interaksi secara langsung di dalam dunia virtual tiga dimensi. Metaverse menggunakan teknologi augmented reality (AR) dan virtual reality (VR).
Dalam sebuah tulisannya, Co-Founder & Co-CEO Artlist Itzik Elbaz berpendapat bahwa para kreator memiliki potensi untuk menjadi “jantung” atau penggerak metaverse, sama seperti peran mereka di dalam media sosial Instagram dan TikTok.
“Tanpa kreator, Instagram hanyalah platform tanpa konten dan tidak menarik. Tanpa kreator, metaverse juga akan membosankan. Kita harus mendorong kemitraan kreator konten metaverse dari semua tingkat ekonomi kreator,” tulis Elbaz.
Sementara itu, popularitas NFT (non-fungible token) melonjak dalam setahun terakhir. Teknologi ini mulai diminati oleh banyak orang sebagai cara untuk memperoleh dan menjual karya seni digital. NFT menawarkan kelebihan atas hak kepemilikan yang unik dengan menggunakan teknologi blockchain.
Diketahui penjualan NFT paling mahal adalah kolase digital dibuat oleh Mike Winkelmann atau dikenal sebagai Beeple yang dijual di rumah lelang Christie seharga 69,3 juta dolar AS pada Maret tahun lalu.
Di Indonesia pada awal tahun ini pemuda bernama Ghozali menjadi perbincangan banyak orang karena berhasil meraup miliaran rupiah dari penjualan swafoto melalui NFT di Opensea.
Melihat peluang yang dihadirkan oleh metaverse dan NFT, Alex mengatakan pihaknya juga berencana untuk mulai mempelajari dan mengeksplorasi penggunaan dua teknologi tersebut sebagai platform yang berpotensi menumbuhkan kreator jenis baru.
“Karena kami melihat itu ruang yang sangat menarik dan sudah terjadi. Saya yakin tidak ada satu orang pun yang tahu ujungnya akan seperti apa, tapi semua orang mau terlibat ke dalam space ini,” ujarnya.
Masa depan kreator ekonomi tak hanya ditentukan oleh penggunaan teknologi terkini (dengan catatan: secara masif), tetapi juga dapat ditilik dari segi kemandirian bisnis yang dikembangkan oleh kreator.
Melalui perusahaan FAS yang ia pimpin, Alex mengatakan pihaknya berusaha untuk mendorong potensi creator venture atau wirausaha yang dibangun kreator. Menurut Alex, kreator memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan beragam lini bisnis yang tak hanya fokus pada industri hiburan saja.
“Saya percaya hubungan selanjutnya antara agensi dengan kreator, hubungannya bukan sekadar berhubungan dengan kontrak secara teknis, tapi bagaimana kami bisa membangun wirausaha dengan dia,” katanya.
“‘The next’ industri kreator ekonomi itu sangat seksi. Batasan untuk masuk ke dalamnya itu kecil sekali. Everyone can be what they want, any brand of any size bisa terlibat, itu yang paling menarik buat saya,” pungkasnya.