Politik merupakan bagian integral dalam kehidupan demokrasi bernegara. Demokrasi elektoral melalui pemilihan umum menjadi barometer paling mudah dalam mengukur partisipasi wanita dalam kehidupan politik. Penyelenggaraan Indonesian Women’s Forum 2018 menjadi bagian dari momentum bagi wanita Indonesia untuk bersiap menghadapi tahun politik 2019.
Opening Dinner Indonesian Women’s Forum 2018 yang ditujukan untuk mitra kerja dan knowledge partner serta tamu-tamu wanita pemimpin dari berbagai bidang. Acara dibungkus dalam sebuah talkshow ringan bertema Wanita & Politik, sebagai profesi yang kini menjadi lazim ditekuni oleh wanita. Acara didahului oleh paparan pembicara kunci dari Gubernur Jawa Timur (2019-2024) Khofifah Indar Parawansa. Sepak terjangnya di dunia politik, dan keteguhan hatinya untuk terus maju memperjuangkan visi di jalur karier yang masih sepi wanita.
Hadir juga Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Atnike N. Sigiro, yang akan memberi tanggapan dan memaparkan temuan survei online “Pemimpin Pilihan Wanita” (1 April – 15 Mei 2018). Survei kolaborasi antara femina bersama Accenture Indonesia dan Jurnal Perempuan mengambil momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018. Tujuannya, untuk mengetahui sosok pemimpin politik ideal di mata wanita dan bagaimana wanita memahami dinamika politik di Indonesia saat ini. Link terhadap hasil lengkap survei Pemimpin Pilihan Perempuan akan dibagikan kemudian melalui e-mail.
Mengapa peran wanita sangat signifikan dalam dunia politik? Dilihat dari jumlah, penduduk wanita di Indonesia cukup signifikan, yaitu mencapai 49,7% dari 265 juta populasi Indonesia. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mencatat bahwa jumlah wanita yang terdaftar sebagai Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) Pilkada serentak 2018 mencapai angka 76 juta lebih (50,04%). Sedikit lebih banyak daripada jumlah pria, yang ada di kisaran 75 juta lebih (49,96%).
Harusnya, dengan jumlah di atas, suara politis wanita harusnya berdampak signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun, faktanya, masih terdapat 421 peraturan dan produk kebijakan yang diskriminatif gender tersebar dari tingkat nasional hingga ke desa-desa. Sebanyak 333 kebijakan tersebut langsung menyerang perempuan, dan 137 di antaranya melakukan kontrol atas tubuh perempuan melalui peraturan berbusana.
Sayangnya, upaya afirmasi kuota 30% keterwakilan wanita di ruang politik ini rupanya masih mendapat hambatan, yang bahkan datang dari wanita sendiri. Seperti yang terlihat dari hasil Survei Pemimpin Pilihan Perempuan. Meski 72% responden wanita percaya bahwa wanita dan pria memiliki kapasitas yang setara sebagai seorang pemimpin, tapi hanya 6% saja wanita yang memilih sesama wanita sebagai pemimpin atau kepala daerah.
“Secara kultural, politik dimaknai sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dunia publik sedangkan perempuan secara kultural dianggap sebagai warga yang mendiami dunia domestik. Gagasan kultural yang diskriminatif dan stereotyping ini telah menyingkirkan perempuan dari dunia politik. Peminggiran perempuan dalam politik turut mempengaruhi bagaimana perempuan mempersepsi politik,” papar Atnike N. Sigiro, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan.
Terpilihnya Khofifah Indar Parawansa sebagai Gubernur Jawa Timur (2019-2024) menjadi bukti bahwa stigma bahwa politik itu kotor dan tidak cocok bagi jiwa feminine wanita berhasil diruntuhkan. Bagi Khofifah, hal ini hanyalah soal membangun perspektif. Ia tidak menyebut dunia politik itu kejam, penuh friksi, atau kotor.
“Saya menyebutnya sebagai dinamika. Dinamika ini terjadi tidak hanya di dunia politik, tapi juga di dunia usaha, bahkan hingga lingkungan akademis kampus,” ungkap Khofifah. Hanya, yang membedakan adalah publikasinya. “Dunia politik itu ramai publikasi. Setiap terjadi perbedaan, maka masing-maisng pihak akan saling menunjukkan eksistensinya melalui publikasi media,” lanjut Khofifah.
Rekam jejak karier khofifah di dunia politik, baik di legislatif maupun eksekutif, tak disangsikan lagi. Ia pernah menjadi pimpinan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI (1992-1997), Pimpinan Komisi VIII DPR RI (2995-1997), Wakil Ketua DPR RI (1999), Ketua Komisi VII DPR RI (2004-2006), Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001) di era kepemimpinan Gus Dur, dan Menteri Sosial Kabinet Kerja (2014-2018) di era Presiden Joko Widodo, hingga ia memilih untuk undur dari jabatan sebagai menteri demi mengabdikan diri secara total bagi tanah kelahirannya di Jawa Timur.
Sangat penting bagi wanita untuk bisa mengembangkan diri pada bidang yang menjadi minat terbesar kita. Termasuk di dalamnya keterlibatan wanita untuk terjun ke jalur karier politik. Keterwakilan wanita untuk perempuan harus ada dalam upaya menjamin kepentingan dan aspirasi perempuan tertuang di dalam kebijakan-kebijakan publik yang ada. Bagaimanapun ada karakter khusus yang harus ditempa oleh wanita yang hendak terjun ke jalur politik. Ia harus berani, rajin membangun jejaring dan memelihara komunikasi dengan para jaringannya. Ia juga harus memiliki mentalitas membaja yang membuat seseorang melentingkan diri ke atas, setiap kali diserang dan dijatuhkan. (Editor: Theresia PM)