Dua lembaga nasional memprediksi perbankan Indonesia di tahun 2019 ini, bakal lebih kuat menghadapi tekanan global. Penegasan pertama disampaikan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). Intitusi kajian ini menyatakan bahwa perbankan Indonesia pada saat ini sudah lebih kuat dalam menghadapi tekanan global dibandingkan dengan kondisi pada 1998.
Executive Director CIPS Rainer Heufers, mengatakan saat ini memang ada kekhawatiran muncul karena adanya ketakutan berulangnya krisis ekonomi 1998. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin memperkuat kekhawatiran tersebut.
Padahal, lanjutnya, kondisi krisis ekonomi 1998 sangat berbeda dengan yang telah terjadi pada 2018, serta tingkat depresiasi mata uang rupiah jauh lebih rendah daripada yang terjadi pada 1998. “Bank-bank Indonesia sudah lebih kuat dan sektor keuangan Indonesia jauh lebih kuat dalam menghadapi tekanan global,” ucapnya. Selain itu, ujar dia, cadangan devisa negara jauh melebihi yang dimiliki pada 1998 dan rasio utang terhadap PDB kurang dari setengah dari 74 persen yang dialami Indonesia pada 1998.
Ia juga mengemukakan bahwa defisit anggaran dan tingkat utang secara umum tetap terkendali dan berada dalam batas aman yang diatur UU. Hal ini bahkan tetap terjadi setelah Bank Indonesia (BI) mengikuti kebijakan normalisasi The Fed dengan menaikkan suku bunga tujuh kali dengan total 1,75 persen pada 2018.
Sebelumnya, BI optimistis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan terus bergerak stabil dan menguat pada 2019. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan suku bunga acuan bank sentral AS The Fed atau Fed Fund Rate (FFR) yang tahun ini naik empat kali, pada 2019 hanya akan naik dua kali.
Selain itu, ketegangan terkait perdagangan global dinilainya sudah mengarah ke arah yang lebih positif. Sementara itu, dari sisi dalam negeri, fundamental ekonomi Indonesia dipastikan akan lebih baik di mana pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yaitu di kisaran 5-5,4 persen.
Inflasi juga diperkirakan akan tetap rendah dan terkendali di 3,5 persen dan defisit neraca transaksi berjalan akan turun menjadi 2,5 persen dibandingkan tahun lalu yang diprediksi mencapai 3 persen.
Pengamatan lain ditegaskan oleh PT Bahana TCW Investment Management. Lembaga ini optimistis perekonomian Indonesia pada 2019 akan lebih baik, seiring dengan kembalinya arus modal asing ke dalam negeri. “Situasi ekonomi dan geopolitik global akan mendukung kembalinya arus modal asing masuk ke Indonesia, sehingga memperkuat kondisi ekonomi Indonesia,” kata Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat di Jakarta.
Ia mengemukakan salah satu faktor yang memicu dana asing masuk, yakni defisit perdagangan AS yang meningkat serta tensi perang dagang AS dengan China yang lebih melonggar. “Kompromi perang dagang tampaknya bisa tercapai karena kedua belah pihak sama-sama saling membutuhkan dari sisi ekonomi,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, investor global juga menduga kondisi perekonomian Amerika Serikat telah melewati puncaknya dan mulai melambat walau tetap masih terbilang kuat.
Ia menambahkan The Fed juga diproyeksikan tidak agresif untuk menaikkan suku bunganya pada 2019. Setelah menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin pada 2018, The Fed tampaknya bersikap netral pada 2019. “Ada potensi The Fed hanya membutuhkan maksimal dua kali kenaikan selama 2019,” katanya.
Meskipun tekanan dari eksternal mereda, Budi Hikmat berharap adanya kebijakan untuk mendorong daya beli dan meningkatkan produktivitas baik dalam sektor manufaktur maupun pariwisata.
“Selain itu juga dilandasi keberanian pemerintah menempuh kebijakan pre-emptive dan prudent untuk membedakan Indonesia dibanding negara berkembang,” katanya.